Halo sahabat mitraklinik yang baik,
Permenkes yang digunakan sebagai pedoman tatakelola klinik kesehatan masih mengacu kepada Permenkes 09 tahun 2014.
Diawal bulan Maret 2014 ini ada peraturan menteri kesehatan yang baru diundangkan yang menggantikan permenkes 028/MENKES/PER/I/2011 dan permenkes 666/MENKES/SK/VI/2007 tentang klinik. Permenkes yang baru itu adalah PERMENKES 09 tahun 2014.
Secara garis besar permenkes yang baru ini hampir sama dengan Permenkes 028/2011 sebelumnya, namun dalam permenkes yang baru ini menerangkan Klinik dapat dimiliki oleh Pemerintah, Pemerintah daerah atau masyarakat sehingga dalam pelaksanaannya nanti mungkin pemerintah akan mendampingi peran puskesmas atau melegalkan praktik dokter yang ada dalam instansi pemerintahan menjadi klinik.
Dan dalam permenkes yang baru juga menerangkan bahwa tenaga kerja asing yang di permenkes terdahulu tidak diperbolehkan dipekerjakan ,dalam permenkes ini menyiratkan lampu hijau untuk mempekerjakan / mendayagunakan tenaga kesehatan warga negara asing, yang detailnya bisa dilihat dalam situs ini
Dan dalam permenkes yang baru juga mengisyaratkan penggunaan Badan Hukum untuk mendirikan Klinik Utama dan Klinik Pratama dengan rawat inap, dimana setahu kami badan hukum yang dilegalkan di Indonesia adalah berbentuk Yayasan atau PT,sehingga badan usaha perorangan seperti CV hanya dapat memiliki Klinik rawat jalan.
Selain itu perubahan dari permenkes yang baru adalah penambahan dokter pelaksana untuk Klinik Utama, yang tidak hanya satu dokter spesialis, namun juga harus mengikutkan 1 dokter pemberi layanan. Untuk tenaga Apoteker dalam permenkes yang baru ini tidak bisa ditawar lagi untuk klinik rawat inap, karena klinik akan memiliki instalasi farmasi yang dapat melayani resep dari kliniknya sendiri, klinik lain dan dokter praktik perorangan, sehingga fungsi dari klinik akan semakin besar cakupannya untuk mendapatkan penjualan obat.Tetapi untuk klinik rawat jalan boleh tidak menyelenggarakan instalasi farmasi sehingga tidak diperlukan apoteker lagi,namun dengan tidak adanya instalasi farmasi akan berdampak tidak dapat melayani resep dari dalam kliniknya sendiri
Selain itu, klinik rawat inap wajib menyelenggarakan laboratorium, dimana ijin dari laboratorium itu menjadi satu / terintegrasi dengan ijin klinik sebagai ijin laboratorium klinik umum madya. Sehingga untuk mendirikan klinik rawat inap harus melengkapi dengan sarana dan prasarana laboratorium tingkat pratama atau tingkat madya.
Maaf saya butuh info terkait ijin penyelenggaraan klinik rawat inap.
seingat saya di permenkes disebutkan bahwa ijin instalasi farmasi di klinik rawat inap mengikuti klinik tersebut. Jadi sudah otomatis dalam klinik rawat inap maka ada instalasi farmasinya.
Lalu apakah benar instalasi farmasi tersebut harus mengurus ijin terpisah untuk beroperasi?
karena setelah klinik rawat inap kami beroperasi selama bertahun2 baru kali ini kami menerima teguran dari BPOM bahwa instalasi farmasi kami tidak boleh beroperasi karena tidak ada ijin.
pertanyaan saya:
1. Apakah ijin operasional instalasi farmasi ditentukan dan dikeluarkan oleh BPOM?
2. Bukankah sesuai Permenkes bahwa ijin instalasi farmasi di klinik rawat inap sudah otomatis mengikuti klinik tersebut?
mohn bantuan pencerahannya. terimakasih
Di permenkes klinik yang baru itukan disebutkan,bed untuk klinik rwt inap maksimal 10 bed. Sedangkan di Permenkes 340/2010 ttg klasifikasi RS disebutkan untuk RS tipe D minimal 50 bed. Pertanyaan saya,faskes yang bednya 11-49 itu namanya apa? Mohon pencerahan,ok sy sudah tanya ke Dinkeskab,tapi jawabannya tdk rasional dan tidak solutif .
Saya sedang mengajukan claim rembers ke asuransi kesehatan Axxxxnz karena sakit dan dirawat inap di klinik di Timika Papua. Tetapi claim saya ditolak karena harus melampirkan surat izin penyelenggaraan rawat inap klinik tsb dari Dinkes.
Saya tanyakan ke klinik tersebut, jawabnya klinik di Timika-Papua dapat menyelenggarakan rawat inap tanpa perlu ada izin dari Dinkes
Apa benar demikian ?
Mohon penjelasannya. Terima kasih
Menurut ketentuan bahwa semua klinik di Indonesia harus mempunyai ijin penyelenggaraannya tanpa terkecuali.ijin klinik rawat inap di peroleh dari bppt/perijinan satu pintu setempat bukan dr dinas kesehatan
Hai,
saya mau tanya apakah semua klinik utama, otomatis sudah boleh melakukan rawat inap?
trims
Mau tanya jika KPRJ tidak ada apoteker, tidak ada kefarmasian
Namun ada penjualan kosmetik seperti sabun muka yang sudah BPOM apakah itu boleh?
Salam berbagi pasar kesehatan pak/bu
Kalau Klinik tanpa apoteker tidak bisa memberikan layanan penjualan farmasi/sediaan farmasi kepada pasien. Sediaan farmasi didalamnya seperti sabum, lotion dll tidak diperbolehkan untuk dijual kepasien. Acuan ke Permenkes no 34/2021
please sent the file,
thanks
selamat siang,
saya berniat mendirikan klinik pratama, dan di peraturan menteri kesehatan nomor 9 tahun 2014, di sebutkan boleh secara perorangan, artinya perorangan apakah masih harus berbadan hukum (CV) yang berarti harus mendirikan CV atau tidak harus ? SIUP, TDP HO kan bisa di buat secara perorangan terimakasih
Salam, admin mitraklinik.com
Saya ada pertanyaan tentang dokumen pendukung dalam perizinan klinik rawat jalan yaitu SPPL. Apakah dalam hal ini SPPL dan UKL-UPL itu sama? Karena kalau sama tetap ada estimasi dana yang dipersiapkan sebesar kurang lebih 20 juta rupiah untuk pengurusannya.
Sekian pertanyaan saya. Atas jawabannya terim kasih 🙂
Untuk SPPL lebih mudah pembuatannya daripada UKL UPL pak, untuk pengurusannya bisa diurus sendiri ke BLH setempat, bisa dibuat sendiri kok, tidak perlu memakai konsultan, biayanya gratis, jika pakai konsultan bisa sampai puluhan juta, jika ada petugas BLH menawarkan dengan biaya mahal bisa diadukan ke KLH/ Kotak pengaduan layanan setempat
Yang saya tanyakan apakah klinik yang pelaksana hariannya dilakukan oleh seorang perawat kedepannya masih bisa beroprasional??
Yang diperbolehkan rumah perawatan, bukan klinik, kalau klinik harus mengacu ke Permenkes 09/2014 tentang Klinik pak
Salam dahsyat…….
Ada sesuatu yg aneh pada pmk ini. Pada pasa 34 ayat dikatakan : klinik utama boleh melakukan operasi, kecuali dgn anestesi spinal dan atau inhalasi. Tapi kemudian disebutkan operasi sedang dengan resiko tinggi. Pertanyaannya :
1. Operasi apa yg termasuk kategori sedang tapi bisa ditindak dengan anestesi selain spinal atau inhalasi ?
2. Contoh operasi ringan sampai sedang adalah abses payudara, hemorhoid dan hernia tanpa komplikasi….apakah operasi tersebut dilakukan dgn anestesi lokal ?
Apakah tidak aneh kalimat dipasal 34 yg menyatakan boleh melakukan operasi sedang tanpa risiko tinggi tapi tdk boleh dengan anestesi spinal atau inhalasi ?
Ini sama saja seperti kalimat ‘tidak boleh melakukan operasi sedang…
Bagaimana pendapat para sahabat